Putu, punya nama lengkap Putu Fajar Arcana atau biasa juga disapa CAN, sehari-hari adalah wartawan yang sedang bertugas di Yogyakarta. Ia lahir dari keluarga petani di kota kecil, di belahan barat Bali bernama Negara. Negara kota yang jauh dari perhatian, ia hanya menjadi semacam perlintasan antarpulau Jawa-Bali. Setelah menjalani masa kecil yang pahit, misalnya dengan berdagang pisang goreng dan es keliling desa, Putu memutuskan pindah kota setelah ia diterima kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) tahun 1984. Di jantung Bali ini ia mulai berkenalan dengan dunia tulis menulis, yang pada awalnya diniatkan untuk membiayai ongkos kuliahnya. Beruntung ia berkenalan dengan penyair legendaris dengan predikat Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi, yang sejak itu hingga sekarang menjadi penjaga rubrik budaya Bali Post. Putu diberi kesempatan untuk menulis setiap minggu mengenai apa saja, asal berbau sastra. Kesempatan itu ia pakai untuk menuliskan komentar-komentar mengenai cerita pendek yang dimuat di koran itu pekan sebelumnya. Petualangan besar sebagai penulis dimulai dari sini...
Sahabat karibnya penyair Warih Wisatsana merayu Putu untuk tinggal kembali di Denpasar, setelah menyelesaikan kuliah tahun 1989. Padahal Putu hampir memutuskan untuk kembali tinggal di Negara, karena memikirkan orangtuanya yang mulai memasuki usia senja. Atas ajakan Warih, Putu bergabung bersama sastrawan Gde Aryantha Soetama, yang tahun 1990-an menjadi pemimpin redaksi Harian Nusa Tenggara, Denpasar. Di tempat kerjanya itu, Putu juga berjumpa seniman Bali lainnya seperti Ketut Syahruwardi Abbas, Riyanto Rabbah, Sukaya Sukawati, Putu Wirata Dwikora, Ketut Sumadi, Mas Ruscita Dewi, Ketut Naria, Cok Sawitri, serta wartawan kawakan (alm) Mahar Effendi. Di Harian Nusa Tenggara, selain mengawali karir di dunia jurnalistik, Putu juga mulai meneruskan bakatnya menulis sastra. Setelah Harian Nusa Tenggara bangkrut bersama kawan-kawan ini, Putu menerbitkan media dwimingguan bernama EKBIS, kemudian akhirnya bergabung bersama Majalah Berita Mingguan TEMPO tahun 1992. Dan setelah majalah yang sering bersuara kritis ini dibreidel pemerintah Soeharto, ia berkarir di Harian Kompas dengan menjadi koresponden Bali sejak tahun 1994.
Buku sastra tunggal pertamanya terbit berupa kumpulan puisi berjudul "Bilik Cahaya" tahun 1997 oleh Sanggar Minum Kopi Bali. Kemudian menyusul kumpulan cerpen "Bunga Jepun" tahun 2003 oleh Penerbit Buku Kompas dan "Samsara" tahun 2005 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku terbarunya baru saja diterbitkan Galang Press Yogyakarta berjudul "Surat Merah untuk Bali" (2007). Buku ini berisi 30 artikel yang pernah diterbitkan sebagai kolom di tabloid Ge-M Independen, yang terbit di kota Negara, di mana Putu dilahirkan. Tulisan-tulisan itu secara khusus menyoroti perkembangan paling mutakhir dari Bali....(Bersambung)
Selasa, 24 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar