Kamis, 26 Juli 2007

buku

Surat Merah...
Sementara saya akan beralih cerita pada buku "Surat Merah untuk Bali". Buku ini diterbitkan Galang Press Yogyakarta pada pertengahan Juli 2007 lalu, dengan editor AA Kunto A. Mengapa surat merah? Merah memberi aksentuasi yang beragam. Bahkan sebagaimana bahasa puisi yang ambigu, kata "merah" bisa multi-intepretable. Setiap pembaca boleh menafsir apa saja atas kata itu. Secara garis besar, dalam epilog saya sebutkan bahwa "merah" bisa jadi menandai rasa rindu dendam saya pada tanah kelahiran. Satu sisi saya rindu ingin pulang, tetapi di sisi lain menyimak perkembangan tanpa kendali sekarang ini, membuat saya resah dan bahkan dendam. Dendam, karena berbagai perubahan yang terjadi lagi-lagi berada di luar kendali orang Bali.Buku ini berisi 30 esai (tulisan) saya yang dikerjakan antara tahun 2004-2005 dan sebagian besar dimuat dalam tabloid Ge-M Independen, sebuah media dua mingguan yang diterbitkan di kota Negara, di mana saya dilahirkan. Rubrik "Bali Diaspora" itu dibuka para pengelolanya seperti Nanoq dan Kansas dan DS Putra sebagai upaya menularkan tradisi menulis dan berpikir di kota kecil itu. Tawaran itu menggoda saya. Dalam sejarah perjalanan kota ini, belum pernah ada usaha untuk menerbitkan media massa yang bersifat umum. Saya pikir ini kesempatan saya untuk berbagi. Lalu saya mulai menuliskan sisi lain, dengan titik fokus bandingan Bali, berbagai perjalanan jurnalistik. Hasilnya barangkali tidak cukup mengejutkan, lantaran saya lagi-lagi kembali pada Bali, sebagai entitas kultural yang melahirkan dan membesarkan saya.Lantaran ditulis dalam waktu singkat dan pengisi kolom di sebuah media, bisa jadi memang tulisan-tulisan ini tidak mengkaji secara mendalam topik-topik yang sedang saya bahas. Tetapi yang pantas dicatat, bahwa saya sedang melihat berbagai perkembangan kontemporer yang dihadapi Bali di tengah arus perubahan yang dahsyat. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi Bali senantiasa bermuara pada nafsu mengusung modal sebesar-besarnya ke pulau kecil itu demi mengejar pertumbuhan. Dan akhirnya Bali bernasib sama dengan kota-kota lain di Indonesia yang juga bernafsu mengejar pertumbuhan.Ongkos sosial dan bahkan kultural yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan itu terlalu besar. Bali bertekuk-lutut dalam kuasa budaya konsumsi gelap mata. Perlahan-lahan dan tanpa kejutan, orang Bali memakai ukuran matrialistik untuk menandai seseorang. Ini juga saya kita tak jauh beda dengan masyarakat perkotaan lainnya di Indonesia. Saya belum lagi tahu, apakah ini kemerosotan nilai atau perubahan ini harus diterima dengan lapang dada dengan alasan "tidak mau tertinggal zaman".Nah, buku "Surat Merah untuk Bali" mungkin tidak memberi solusi, tetapi setidaknya ia membuka mata untuk berbagai persoalan yang patut mendapatkan perhatian. Fokus perhatiannya adalah menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal yang perlahan tapi pasti berubah di sekitar lingkungan kultural bernama BALI....(Bersambung...)

Tidak ada komentar: