Jumat, 27 Juli 2007
esai
Untuk melengkapi kenikmatan akhir pekan, saya kopikan satu esai yang terangkum dalam "Surat Merah untuk Bali", buku yang baru saja saya terbitkan....Selamat membaca.
Couteau
Oleh Putu Fajar Arcana
JEAN Yves Couteau sesungguhnya adalah mantan aktivis revolusi mahasiswa 1968 di Perancis. Kumpulan anak muda ini dikenal sebagai penentang Perang Vietnam yang dikobarkan Amerika Serikat (AS), serta tentu saja pro-demokrasi. Mereka misalnya mengadakan serangkaian demonstrasi menentang penggunaan senjata nuklir. Kejenuhan akan wilayah makro politik inilah yang antara lain membuat Jean, begitu ia kemudian dikenal, “bermigrasi” ke Timur. Padahal ia pernah menjadi atase kebudayaan Perancis di AS.
Jean mulai bersentuhan dengan Bali tahun 1971, ketika ia mengadakan penelitian untuk kepentingan desertasinya yang mengambil topik tentang lukisan tradisi. Ia berkunjung ke Sanur, Kamasan, Batuan, Ubud, Sukawati, serta beberapa pelosok Bali. Ini sejarah penting yang membuat Jean tahun 1978 memutuskan untuk menetap di Bali.
Kehadirannya di Bali dianggap mewakili gelombang terakhir kedatangan para antropolog ke pulau ini untuk menetap, baik karena ketertarikan budaya maupun karena kejenuhan pada masyarakatnya sendiri. Barangkali kehadiran gelombang terakhir ini sangat berbeda dengan kedatangan Rudolf Bonnet atau Walter Spies pada tahun 1930-an ke Bali. Spies dan Bonnet, di luar “jasanya” membawa modernitas di dalam lukisan tradisi Bali, adalah orang-orang yang menikmati kemudahan yang diberikan kolonialisme. Sementara Jean pada titik tertentu termasuk orang asing yang antikolonialisme.
Dalam satu diskusi yang dihadiri oleh sebagian besar orang asing di Ubud, Jean berkata,”Sudah saatnya Bali dinilai oleh orang Bali sendiri. Selama ini hampir seluruh citraan tentang pulai ini dikonstruksi oleh orang asing,” kata Jean.
Pada kesempatan lain ia seolah menegaskan pendapatnya berkata,”Sebagian orang Bali mengalami nirartha sindrom,” kata dia. Pastilah ungkapan ini muncul karena kecintaannya yang dalam pada Bali. Tidak ada kesan mengejek, apalagi melecehkan kebesaran nama Dang Hyang Nirartha, orang suci yang namanya terus-menerus dikenang sebagai peletak dasar-dasar kosmologi Bali sekarang.
Ia hanya meminjam istilah nirartha untuk mengatakan betapa dalam sejarah peradaban Bali, senantiasa para pendatang asing “dipuja” secara berlebihan. Bahkan untuk sebutan orang-orang seperti Walter Spies, dipanggil Tuan Sepis. Padahal itu secara jelas menunjukkan betapa Bali mengalami inferiority complex akut, yang bisa saja bersumber dari kepekatan tradisi. Kata “tuan” saja sudah cukup menjadi bukti, betapa orang Bali tidak pernah meletakkan dirinya sejajar dengan orang asing.
***
PENGAJARAN dalam tradisi Bali selalu dilakukan dengan peniruan. Seorang guru yang mengajarkan tari, harus menari terlebih dahulu di depan muridnya, dan murid kemudian menirukannya. Dalam metode seperti ini, murid tidak pernah mendapatkan intelectual exercise yang justru sangat dibutuhkan guna menumbuhkan sikap-sikap kritis. Mungkin ada yang berpandangan, penumbuhan sikap kritis itu adalah Barat. Pada sisi ini saya setuju dengan transfer ilmu pengetahuan dengan cara Barat.
Setidaknya sampai kini sudah terbukti, dalam berabad-abad perjalanan Bali nyaris tidak pernah melahirkan seorang intelektual yang digembleng dengan tradisi lokal tetapi memiliki wawasan global. Sebutlah nama intelektual di masa lalu seperti Rsi Markandeya, Empu Kuturan, dan Dang Hyang Nirartha, kemudian Walter Spies, Rudolf Bonnet, Ketut Tantri, dan Arie Smit, tak lain adalah orang-orang yang berasal dari luar Bali. Karya-karya mereka inilah yang kini diwarisi oleh tradisi dan kultur Bali. Belum lagi kalau kita sebut beberapa nama peneliti seperti Miquel Covarubias dan Cliford Geezts yang menulis buku-buku “monumental” guna membaca Bali dewasa ini.
Jean Couteau menganalisis telah terjadi semacam penindasan tradisi terhadap kemungkinan lahirnya intelektual di Bali. Jaring-jaring yang disebarkan adat, telah begitu rupa memerangkap orang Bali ke dalam rutinitas keseharian yang berat. Bisa jadi secara fisik, banyak orang Bali yang terlihat bahagia menjalani hari-hari mereka yang penuh warna.
Tetapi sesungguhnya “kebahagiaan” itu sangatlah semu. Pada batasnya ia akan memperlihatkan sisi keterbelengguan yang dalam. Orang Bali seperti berada dalam sangkar emas. Mungkin pada saatnya akan makmur, tetapi tidak pernah bisa secara bebas menikmati kemakmurannya. Karena ia terus-menerus dikendalikan oleh pencitraan-pencitraan yang dikonstruksi oleh orang “asing”.
Jean Couteau menurut saya pastilah orang asing perkecualian dari itu. Sampai sekarang, meski karyanya begitu banyak mengangkat para seniman Bali, ia tetap hidup secara sederhana. Hidup di tepi kali, seperti para rsi di masa lalu, dengan rumah seadanya serta mobil butut yang terkadang macet di tengah jalan.
Jean memang seorang petualang. Petualang intelektual yang mengalami kejenuhan akibat politik global serta kekakuan-kekakuan yang ia dapatkan di negerinya. Maka ketika bertualang ke Timur, khususnya Bali, ia tidak terhipnotis oleh eksotika. Ia tidak ingin dipersamakan dengan kaum kolonial atau pedagang yang hanya singgah untuk kemudian mengeruk keuntungan.
Jean adalah tipe orang asing dari dunia yang tak asing. Ia benar-benar menyatu dan ingin berbuat setulusnya terhadap Bali. Maka itu, ia tidak ingin dinyatakan sebagai rsi atau “saudara tua” yang datang membawa kecerahan. Kehadiran orang ini justru menjadi dekonstruksi terhadap berbagai pandangan kita terhadap orang asing. Karena Jean tidak ingin dipertuankan. Pertuanan dalam kamusnya adalah neokolonialisme yang mesti digerus habis.
“Karena itu Bali harus bangkit dan menyadari kebuntuannya selama ini. Ia harus membuka diri terhadap berbagai penawaran pemikiran. Jangan terus-menerus memunculkan diskursus yang memuji-muji diri, karena pada akhirnya akan membutakan diri, dan terus diperlakukan sebagai jongos dari orang asing,” kata dia.
***
KALAU pada saat ini Jean Couteau masih tetap aktif menulis tentang para seniman Bali, bukan berarti ia meletakkan dirinya sebagai pemberi identitas atau pemberi legitimasi. Jean selalu mengatakan dirinya sebagai “ngayah”, konsep yang dikenal masyarakat Bali sebagai bekerja tanpa pamrih. Dan tulisan ini pula bukanlah bermaksud memuji-muji Jean Couteau, karena sesungguhnya ia tidak berbeda dengan orang Bali lainnya.
Tetapi mungkin saja karena Jean tidak memiliki beban tradisi, dan berasal dari kultur berbeda tapi ia tidak merasa superior karena itu, ia bisa secara lugas melakukan identifikasi terhadap prilaku sosial budaya masyarakat Bali. Intinya, Bali menurut Jean, sudah sampai pada tahap membeku, di mana susah sekali melakukan penguraian terhadap elemen-elemen tradisi. “Dalam sistem seperti ini sulit lahir seorang intelektual yang kemudian bisa membawa Bali ke arah yang lebih benar,” kata dia.
Kartunis asli Bali Wayan Sadha boleh jadi menjadi contoh menarik. Sadha yang kelahiran Jimbaran, Badung itu, tidak pernah mendapatkan pendidikan secara formal di sekolahan. Tetapi ia memiliki kecerdasan yang tumbuh dari pengalaman. Oleh karena itu kartun-kartun ciptaannya, yang sebagian besar menggunakan bahasa Bali, adalah cermin bagi Bali.
Sadha seperti tetap berada dalam penguasaan “masa lalu”, tetapi ia menjalani sebuah “petualangan” yang menakjubkan, di mana industri pariwisata sedang berkuasa. Maka ia tersisih, tidak terangkut oleh deru industri itu. Ia menjadi si pengeluh yang mewakili kaum marginal. Mungkin juga Bali seperti itu. Industri dalam kasat mata membuat semarak sudut-sudut kota, tetapi ia tidak melahirkan kemajuan dalam pengertian value. Yang lahir hanyalah beban-beban baru yang terus-menerus harus ditanggung dari generasi ke generasi. Dan di situ tradisi menjadi sangat menindas, karena ia sesungguhnya mengikat tanpa tali…..
Putu Fajar Arcana, wartawan asal Jembrana tinggal di Jakarta.
Couteau
Oleh Putu Fajar Arcana
JEAN Yves Couteau sesungguhnya adalah mantan aktivis revolusi mahasiswa 1968 di Perancis. Kumpulan anak muda ini dikenal sebagai penentang Perang Vietnam yang dikobarkan Amerika Serikat (AS), serta tentu saja pro-demokrasi. Mereka misalnya mengadakan serangkaian demonstrasi menentang penggunaan senjata nuklir. Kejenuhan akan wilayah makro politik inilah yang antara lain membuat Jean, begitu ia kemudian dikenal, “bermigrasi” ke Timur. Padahal ia pernah menjadi atase kebudayaan Perancis di AS.
Jean mulai bersentuhan dengan Bali tahun 1971, ketika ia mengadakan penelitian untuk kepentingan desertasinya yang mengambil topik tentang lukisan tradisi. Ia berkunjung ke Sanur, Kamasan, Batuan, Ubud, Sukawati, serta beberapa pelosok Bali. Ini sejarah penting yang membuat Jean tahun 1978 memutuskan untuk menetap di Bali.
Kehadirannya di Bali dianggap mewakili gelombang terakhir kedatangan para antropolog ke pulau ini untuk menetap, baik karena ketertarikan budaya maupun karena kejenuhan pada masyarakatnya sendiri. Barangkali kehadiran gelombang terakhir ini sangat berbeda dengan kedatangan Rudolf Bonnet atau Walter Spies pada tahun 1930-an ke Bali. Spies dan Bonnet, di luar “jasanya” membawa modernitas di dalam lukisan tradisi Bali, adalah orang-orang yang menikmati kemudahan yang diberikan kolonialisme. Sementara Jean pada titik tertentu termasuk orang asing yang antikolonialisme.
Dalam satu diskusi yang dihadiri oleh sebagian besar orang asing di Ubud, Jean berkata,”Sudah saatnya Bali dinilai oleh orang Bali sendiri. Selama ini hampir seluruh citraan tentang pulai ini dikonstruksi oleh orang asing,” kata Jean.
Pada kesempatan lain ia seolah menegaskan pendapatnya berkata,”Sebagian orang Bali mengalami nirartha sindrom,” kata dia. Pastilah ungkapan ini muncul karena kecintaannya yang dalam pada Bali. Tidak ada kesan mengejek, apalagi melecehkan kebesaran nama Dang Hyang Nirartha, orang suci yang namanya terus-menerus dikenang sebagai peletak dasar-dasar kosmologi Bali sekarang.
Ia hanya meminjam istilah nirartha untuk mengatakan betapa dalam sejarah peradaban Bali, senantiasa para pendatang asing “dipuja” secara berlebihan. Bahkan untuk sebutan orang-orang seperti Walter Spies, dipanggil Tuan Sepis. Padahal itu secara jelas menunjukkan betapa Bali mengalami inferiority complex akut, yang bisa saja bersumber dari kepekatan tradisi. Kata “tuan” saja sudah cukup menjadi bukti, betapa orang Bali tidak pernah meletakkan dirinya sejajar dengan orang asing.
***
PENGAJARAN dalam tradisi Bali selalu dilakukan dengan peniruan. Seorang guru yang mengajarkan tari, harus menari terlebih dahulu di depan muridnya, dan murid kemudian menirukannya. Dalam metode seperti ini, murid tidak pernah mendapatkan intelectual exercise yang justru sangat dibutuhkan guna menumbuhkan sikap-sikap kritis. Mungkin ada yang berpandangan, penumbuhan sikap kritis itu adalah Barat. Pada sisi ini saya setuju dengan transfer ilmu pengetahuan dengan cara Barat.
Setidaknya sampai kini sudah terbukti, dalam berabad-abad perjalanan Bali nyaris tidak pernah melahirkan seorang intelektual yang digembleng dengan tradisi lokal tetapi memiliki wawasan global. Sebutlah nama intelektual di masa lalu seperti Rsi Markandeya, Empu Kuturan, dan Dang Hyang Nirartha, kemudian Walter Spies, Rudolf Bonnet, Ketut Tantri, dan Arie Smit, tak lain adalah orang-orang yang berasal dari luar Bali. Karya-karya mereka inilah yang kini diwarisi oleh tradisi dan kultur Bali. Belum lagi kalau kita sebut beberapa nama peneliti seperti Miquel Covarubias dan Cliford Geezts yang menulis buku-buku “monumental” guna membaca Bali dewasa ini.
Jean Couteau menganalisis telah terjadi semacam penindasan tradisi terhadap kemungkinan lahirnya intelektual di Bali. Jaring-jaring yang disebarkan adat, telah begitu rupa memerangkap orang Bali ke dalam rutinitas keseharian yang berat. Bisa jadi secara fisik, banyak orang Bali yang terlihat bahagia menjalani hari-hari mereka yang penuh warna.
Tetapi sesungguhnya “kebahagiaan” itu sangatlah semu. Pada batasnya ia akan memperlihatkan sisi keterbelengguan yang dalam. Orang Bali seperti berada dalam sangkar emas. Mungkin pada saatnya akan makmur, tetapi tidak pernah bisa secara bebas menikmati kemakmurannya. Karena ia terus-menerus dikendalikan oleh pencitraan-pencitraan yang dikonstruksi oleh orang “asing”.
Jean Couteau menurut saya pastilah orang asing perkecualian dari itu. Sampai sekarang, meski karyanya begitu banyak mengangkat para seniman Bali, ia tetap hidup secara sederhana. Hidup di tepi kali, seperti para rsi di masa lalu, dengan rumah seadanya serta mobil butut yang terkadang macet di tengah jalan.
Jean memang seorang petualang. Petualang intelektual yang mengalami kejenuhan akibat politik global serta kekakuan-kekakuan yang ia dapatkan di negerinya. Maka ketika bertualang ke Timur, khususnya Bali, ia tidak terhipnotis oleh eksotika. Ia tidak ingin dipersamakan dengan kaum kolonial atau pedagang yang hanya singgah untuk kemudian mengeruk keuntungan.
Jean adalah tipe orang asing dari dunia yang tak asing. Ia benar-benar menyatu dan ingin berbuat setulusnya terhadap Bali. Maka itu, ia tidak ingin dinyatakan sebagai rsi atau “saudara tua” yang datang membawa kecerahan. Kehadiran orang ini justru menjadi dekonstruksi terhadap berbagai pandangan kita terhadap orang asing. Karena Jean tidak ingin dipertuankan. Pertuanan dalam kamusnya adalah neokolonialisme yang mesti digerus habis.
“Karena itu Bali harus bangkit dan menyadari kebuntuannya selama ini. Ia harus membuka diri terhadap berbagai penawaran pemikiran. Jangan terus-menerus memunculkan diskursus yang memuji-muji diri, karena pada akhirnya akan membutakan diri, dan terus diperlakukan sebagai jongos dari orang asing,” kata dia.
***
KALAU pada saat ini Jean Couteau masih tetap aktif menulis tentang para seniman Bali, bukan berarti ia meletakkan dirinya sebagai pemberi identitas atau pemberi legitimasi. Jean selalu mengatakan dirinya sebagai “ngayah”, konsep yang dikenal masyarakat Bali sebagai bekerja tanpa pamrih. Dan tulisan ini pula bukanlah bermaksud memuji-muji Jean Couteau, karena sesungguhnya ia tidak berbeda dengan orang Bali lainnya.
Tetapi mungkin saja karena Jean tidak memiliki beban tradisi, dan berasal dari kultur berbeda tapi ia tidak merasa superior karena itu, ia bisa secara lugas melakukan identifikasi terhadap prilaku sosial budaya masyarakat Bali. Intinya, Bali menurut Jean, sudah sampai pada tahap membeku, di mana susah sekali melakukan penguraian terhadap elemen-elemen tradisi. “Dalam sistem seperti ini sulit lahir seorang intelektual yang kemudian bisa membawa Bali ke arah yang lebih benar,” kata dia.
Kartunis asli Bali Wayan Sadha boleh jadi menjadi contoh menarik. Sadha yang kelahiran Jimbaran, Badung itu, tidak pernah mendapatkan pendidikan secara formal di sekolahan. Tetapi ia memiliki kecerdasan yang tumbuh dari pengalaman. Oleh karena itu kartun-kartun ciptaannya, yang sebagian besar menggunakan bahasa Bali, adalah cermin bagi Bali.
Sadha seperti tetap berada dalam penguasaan “masa lalu”, tetapi ia menjalani sebuah “petualangan” yang menakjubkan, di mana industri pariwisata sedang berkuasa. Maka ia tersisih, tidak terangkut oleh deru industri itu. Ia menjadi si pengeluh yang mewakili kaum marginal. Mungkin juga Bali seperti itu. Industri dalam kasat mata membuat semarak sudut-sudut kota, tetapi ia tidak melahirkan kemajuan dalam pengertian value. Yang lahir hanyalah beban-beban baru yang terus-menerus harus ditanggung dari generasi ke generasi. Dan di situ tradisi menjadi sangat menindas, karena ia sesungguhnya mengikat tanpa tali…..
Putu Fajar Arcana, wartawan asal Jembrana tinggal di Jakarta.
Kamis, 26 Juli 2007
buku
Surat Merah...
Sementara saya akan beralih cerita pada buku "Surat Merah untuk Bali". Buku ini diterbitkan Galang Press Yogyakarta pada pertengahan Juli 2007 lalu, dengan editor AA Kunto A. Mengapa surat merah? Merah memberi aksentuasi yang beragam. Bahkan sebagaimana bahasa puisi yang ambigu, kata "merah" bisa multi-intepretable. Setiap pembaca boleh menafsir apa saja atas kata itu. Secara garis besar, dalam epilog saya sebutkan bahwa "merah" bisa jadi menandai rasa rindu dendam saya pada tanah kelahiran. Satu sisi saya rindu ingin pulang, tetapi di sisi lain menyimak perkembangan tanpa kendali sekarang ini, membuat saya resah dan bahkan dendam. Dendam, karena berbagai perubahan yang terjadi lagi-lagi berada di luar kendali orang Bali.Buku ini berisi 30 esai (tulisan) saya yang dikerjakan antara tahun 2004-2005 dan sebagian besar dimuat dalam tabloid Ge-M Independen, sebuah media dua mingguan yang diterbitkan di kota Negara, di mana saya dilahirkan. Rubrik "Bali Diaspora" itu dibuka para pengelolanya seperti Nanoq dan Kansas dan DS Putra sebagai upaya menularkan tradisi menulis dan berpikir di kota kecil itu. Tawaran itu menggoda saya. Dalam sejarah perjalanan kota ini, belum pernah ada usaha untuk menerbitkan media massa yang bersifat umum. Saya pikir ini kesempatan saya untuk berbagi. Lalu saya mulai menuliskan sisi lain, dengan titik fokus bandingan Bali, berbagai perjalanan jurnalistik. Hasilnya barangkali tidak cukup mengejutkan, lantaran saya lagi-lagi kembali pada Bali, sebagai entitas kultural yang melahirkan dan membesarkan saya.Lantaran ditulis dalam waktu singkat dan pengisi kolom di sebuah media, bisa jadi memang tulisan-tulisan ini tidak mengkaji secara mendalam topik-topik yang sedang saya bahas. Tetapi yang pantas dicatat, bahwa saya sedang melihat berbagai perkembangan kontemporer yang dihadapi Bali di tengah arus perubahan yang dahsyat. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi Bali senantiasa bermuara pada nafsu mengusung modal sebesar-besarnya ke pulau kecil itu demi mengejar pertumbuhan. Dan akhirnya Bali bernasib sama dengan kota-kota lain di Indonesia yang juga bernafsu mengejar pertumbuhan.Ongkos sosial dan bahkan kultural yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan itu terlalu besar. Bali bertekuk-lutut dalam kuasa budaya konsumsi gelap mata. Perlahan-lahan dan tanpa kejutan, orang Bali memakai ukuran matrialistik untuk menandai seseorang. Ini juga saya kita tak jauh beda dengan masyarakat perkotaan lainnya di Indonesia. Saya belum lagi tahu, apakah ini kemerosotan nilai atau perubahan ini harus diterima dengan lapang dada dengan alasan "tidak mau tertinggal zaman".Nah, buku "Surat Merah untuk Bali" mungkin tidak memberi solusi, tetapi setidaknya ia membuka mata untuk berbagai persoalan yang patut mendapatkan perhatian. Fokus perhatiannya adalah menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal yang perlahan tapi pasti berubah di sekitar lingkungan kultural bernama BALI....(Bersambung...)
Sementara saya akan beralih cerita pada buku "Surat Merah untuk Bali". Buku ini diterbitkan Galang Press Yogyakarta pada pertengahan Juli 2007 lalu, dengan editor AA Kunto A. Mengapa surat merah? Merah memberi aksentuasi yang beragam. Bahkan sebagaimana bahasa puisi yang ambigu, kata "merah" bisa multi-intepretable. Setiap pembaca boleh menafsir apa saja atas kata itu. Secara garis besar, dalam epilog saya sebutkan bahwa "merah" bisa jadi menandai rasa rindu dendam saya pada tanah kelahiran. Satu sisi saya rindu ingin pulang, tetapi di sisi lain menyimak perkembangan tanpa kendali sekarang ini, membuat saya resah dan bahkan dendam. Dendam, karena berbagai perubahan yang terjadi lagi-lagi berada di luar kendali orang Bali.Buku ini berisi 30 esai (tulisan) saya yang dikerjakan antara tahun 2004-2005 dan sebagian besar dimuat dalam tabloid Ge-M Independen, sebuah media dua mingguan yang diterbitkan di kota Negara, di mana saya dilahirkan. Rubrik "Bali Diaspora" itu dibuka para pengelolanya seperti Nanoq dan Kansas dan DS Putra sebagai upaya menularkan tradisi menulis dan berpikir di kota kecil itu. Tawaran itu menggoda saya. Dalam sejarah perjalanan kota ini, belum pernah ada usaha untuk menerbitkan media massa yang bersifat umum. Saya pikir ini kesempatan saya untuk berbagi. Lalu saya mulai menuliskan sisi lain, dengan titik fokus bandingan Bali, berbagai perjalanan jurnalistik. Hasilnya barangkali tidak cukup mengejutkan, lantaran saya lagi-lagi kembali pada Bali, sebagai entitas kultural yang melahirkan dan membesarkan saya.Lantaran ditulis dalam waktu singkat dan pengisi kolom di sebuah media, bisa jadi memang tulisan-tulisan ini tidak mengkaji secara mendalam topik-topik yang sedang saya bahas. Tetapi yang pantas dicatat, bahwa saya sedang melihat berbagai perkembangan kontemporer yang dihadapi Bali di tengah arus perubahan yang dahsyat. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi Bali senantiasa bermuara pada nafsu mengusung modal sebesar-besarnya ke pulau kecil itu demi mengejar pertumbuhan. Dan akhirnya Bali bernasib sama dengan kota-kota lain di Indonesia yang juga bernafsu mengejar pertumbuhan.Ongkos sosial dan bahkan kultural yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan itu terlalu besar. Bali bertekuk-lutut dalam kuasa budaya konsumsi gelap mata. Perlahan-lahan dan tanpa kejutan, orang Bali memakai ukuran matrialistik untuk menandai seseorang. Ini juga saya kita tak jauh beda dengan masyarakat perkotaan lainnya di Indonesia. Saya belum lagi tahu, apakah ini kemerosotan nilai atau perubahan ini harus diterima dengan lapang dada dengan alasan "tidak mau tertinggal zaman".Nah, buku "Surat Merah untuk Bali" mungkin tidak memberi solusi, tetapi setidaknya ia membuka mata untuk berbagai persoalan yang patut mendapatkan perhatian. Fokus perhatiannya adalah menumbuhkan kesadaran akan berbagai hal yang perlahan tapi pasti berubah di sekitar lingkungan kultural bernama BALI....(Bersambung...)
Selasa, 24 Juli 2007
Profil
Putu, punya nama lengkap Putu Fajar Arcana atau biasa juga disapa CAN, sehari-hari adalah wartawan yang sedang bertugas di Yogyakarta. Ia lahir dari keluarga petani di kota kecil, di belahan barat Bali bernama Negara. Negara kota yang jauh dari perhatian, ia hanya menjadi semacam perlintasan antarpulau Jawa-Bali. Setelah menjalani masa kecil yang pahit, misalnya dengan berdagang pisang goreng dan es keliling desa, Putu memutuskan pindah kota setelah ia diterima kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) tahun 1984. Di jantung Bali ini ia mulai berkenalan dengan dunia tulis menulis, yang pada awalnya diniatkan untuk membiayai ongkos kuliahnya. Beruntung ia berkenalan dengan penyair legendaris dengan predikat Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi, yang sejak itu hingga sekarang menjadi penjaga rubrik budaya Bali Post. Putu diberi kesempatan untuk menulis setiap minggu mengenai apa saja, asal berbau sastra. Kesempatan itu ia pakai untuk menuliskan komentar-komentar mengenai cerita pendek yang dimuat di koran itu pekan sebelumnya. Petualangan besar sebagai penulis dimulai dari sini...
Sahabat karibnya penyair Warih Wisatsana merayu Putu untuk tinggal kembali di Denpasar, setelah menyelesaikan kuliah tahun 1989. Padahal Putu hampir memutuskan untuk kembali tinggal di Negara, karena memikirkan orangtuanya yang mulai memasuki usia senja. Atas ajakan Warih, Putu bergabung bersama sastrawan Gde Aryantha Soetama, yang tahun 1990-an menjadi pemimpin redaksi Harian Nusa Tenggara, Denpasar. Di tempat kerjanya itu, Putu juga berjumpa seniman Bali lainnya seperti Ketut Syahruwardi Abbas, Riyanto Rabbah, Sukaya Sukawati, Putu Wirata Dwikora, Ketut Sumadi, Mas Ruscita Dewi, Ketut Naria, Cok Sawitri, serta wartawan kawakan (alm) Mahar Effendi. Di Harian Nusa Tenggara, selain mengawali karir di dunia jurnalistik, Putu juga mulai meneruskan bakatnya menulis sastra. Setelah Harian Nusa Tenggara bangkrut bersama kawan-kawan ini, Putu menerbitkan media dwimingguan bernama EKBIS, kemudian akhirnya bergabung bersama Majalah Berita Mingguan TEMPO tahun 1992. Dan setelah majalah yang sering bersuara kritis ini dibreidel pemerintah Soeharto, ia berkarir di Harian Kompas dengan menjadi koresponden Bali sejak tahun 1994.
Buku sastra tunggal pertamanya terbit berupa kumpulan puisi berjudul "Bilik Cahaya" tahun 1997 oleh Sanggar Minum Kopi Bali. Kemudian menyusul kumpulan cerpen "Bunga Jepun" tahun 2003 oleh Penerbit Buku Kompas dan "Samsara" tahun 2005 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku terbarunya baru saja diterbitkan Galang Press Yogyakarta berjudul "Surat Merah untuk Bali" (2007). Buku ini berisi 30 artikel yang pernah diterbitkan sebagai kolom di tabloid Ge-M Independen, yang terbit di kota Negara, di mana Putu dilahirkan. Tulisan-tulisan itu secara khusus menyoroti perkembangan paling mutakhir dari Bali....(Bersambung)
Sahabat karibnya penyair Warih Wisatsana merayu Putu untuk tinggal kembali di Denpasar, setelah menyelesaikan kuliah tahun 1989. Padahal Putu hampir memutuskan untuk kembali tinggal di Negara, karena memikirkan orangtuanya yang mulai memasuki usia senja. Atas ajakan Warih, Putu bergabung bersama sastrawan Gde Aryantha Soetama, yang tahun 1990-an menjadi pemimpin redaksi Harian Nusa Tenggara, Denpasar. Di tempat kerjanya itu, Putu juga berjumpa seniman Bali lainnya seperti Ketut Syahruwardi Abbas, Riyanto Rabbah, Sukaya Sukawati, Putu Wirata Dwikora, Ketut Sumadi, Mas Ruscita Dewi, Ketut Naria, Cok Sawitri, serta wartawan kawakan (alm) Mahar Effendi. Di Harian Nusa Tenggara, selain mengawali karir di dunia jurnalistik, Putu juga mulai meneruskan bakatnya menulis sastra. Setelah Harian Nusa Tenggara bangkrut bersama kawan-kawan ini, Putu menerbitkan media dwimingguan bernama EKBIS, kemudian akhirnya bergabung bersama Majalah Berita Mingguan TEMPO tahun 1992. Dan setelah majalah yang sering bersuara kritis ini dibreidel pemerintah Soeharto, ia berkarir di Harian Kompas dengan menjadi koresponden Bali sejak tahun 1994.
Buku sastra tunggal pertamanya terbit berupa kumpulan puisi berjudul "Bilik Cahaya" tahun 1997 oleh Sanggar Minum Kopi Bali. Kemudian menyusul kumpulan cerpen "Bunga Jepun" tahun 2003 oleh Penerbit Buku Kompas dan "Samsara" tahun 2005 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku terbarunya baru saja diterbitkan Galang Press Yogyakarta berjudul "Surat Merah untuk Bali" (2007). Buku ini berisi 30 artikel yang pernah diterbitkan sebagai kolom di tabloid Ge-M Independen, yang terbit di kota Negara, di mana Putu dilahirkan. Tulisan-tulisan itu secara khusus menyoroti perkembangan paling mutakhir dari Bali....(Bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)